My Instagram

Bully dan Etnosentrisme di Panti Asuhan Graha Kasih Bapa


sesi persentase artefak budaya di aula Graha Kasih Bapa

Bully dan etnosentrisme di Panti Asuhan Graha Kasih Bapa. Panti Asuhan Graha Kasih Bapa terletak di Jalan Adisucipto Km.18 Kubu Raya, Kalimantan Barat. Panti asuhan ini dihuni oleh 27 orang anak. Satu di antaranya belum sekolah, berusia 2 tahun, 10 anak duduk di bangku SD, 9 anak duduk di bangku SMP dan 7 lainnya duduk di bangku SMK kejuruan.
Penilaian terhadap rasisme diberikan pada pertemuan ke-8 Mini Lessons Indonesia. Setelah sebelumnya kita telah mengenalkan pengertian dan peran budaya dalam masyarakat dan bagaimana kita menempatkan diri dalam masyarakat majemuk. Budaya tersebut kita perkenalkan dengan pengenalan artefak budaya. Salah satunya, topi dari berbagai tempat di dunia (lokal dan internasional). Kemudian mengenalkan budaya dalam Ice berg Theory, film, dan pentingnya bahasa. 
Dalam pertemuan ke-8 ini,  kita memberikan kuisioner penilaian yang terdiri dari 10 pertanyaan menyangkut etnosentrisme. Misalnya apakah mereka lebih menyukai makan, duduk, bergaul, berbagi dengan orang yang berasal dari suku dan agama yang sama?
Kemudian diberikan penilaian rentang 10-100 %. Semakin kecil nilainya, semakin rendah tingkat etnosentrismenya. Hasilnya cukup baik. Nilai tertinggi adalah 40%. Kepada anak yang memiliki nilai 40% ditanya mengapa mereka lebih senang bergaul dengan sesama, jawabannya cukup memprihatinkan.
Anak-anak di panti Asuhan Graha  Kasih Bapa (GKB) bersekolah di yayasan Immanuel dari SD sampai pendidikan menengah atas. Setelah pengisian kuisioner, mereka bercerita bahwa pergaulan mereka di sekolah tidak terlalu luas. Mereka cenderung akrab hanya dengan sesama anak panti. Bukan karena mereka tidak ingin bergaul dengan yang lain, tetapi mereka tidak percaya diri. Beberapa kali mereka mendapat perlakuan kurang enak karena diejek tidak memiliki orang tua, keluarga berantakan, atau miskin.
Ibu Ros yang menjadi ibu asuh mengaku sering menguatkan perasaan anak-anak. “Kalian tidak usah malu. Kalian sama dengan anak-anak lain. Mereka bayar uang sekolah, kalian juga bayar. Kenapa harus minder? Kalian punya Mami dan Papi di sini.” Lebih lanjut, Bu Ros mengatakan, “Kalau saya ke pasar dan mereka ikut, lalu orang bertanya 'itu anak siapa?' saya pasti jawab kalau mereka anak saya. Saya tidak bilang kalau mereka anak panti asuhan."
Hal ini membuat kami berpikir: Barangkali etnosentrisme bisa muncul karena seseorang dikucilkan.
Bully terjadi di mana pun. Terutama di sekolah, dimana anak belum terlalu bisa membela diri dan mengungkapkan bahwa semua orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan setara, apapun latar belakang mereka. Baik itu anak panti asuhan dan anak yang berasal dari keluarga lengkap.
Pertanyaan kami, sudah adakah tindakan-tindakan pencegahan bully di sekolah-sekolah?
Pada minggu berikutnya, berkaitan dengan bully dan etnosentrisme yang sering menimbulkan konflik, kami memberikan materi tentang Pengertian Konflik dan Cara Mencegahnya menggunakan D.I.V.E Theory (Deskripsi, Interpretasi, Verifikasi, Evaluasi). Kemudian di minggu yang berikutnya kami memberikan materi tentang Cara Mengatasi Konflik dengan Conflict Style Inventory, di antaranya discussion, engagement, Acomodation, dynamic style. Kami berharap, setiap anak bisa mengatasi setiap konflik yang mereka hadapi di sekolah dan di manapun kelak mereka berada. Jangan sampai bully atau perundungan membunuh semangat kita untuk bermimpi dan berprestasi. (Nings).

Tidak ada komentar